Total Tayangan Halaman

Rabu, 29 Juni 2011

CARA MENENTUKAN MINAT

Ada beberapa cara menentukan minat, antara lain :
1.        Minat yang diekspresikan ( expresed interest )
Seseorang dapat mengungkapkan minat atau pilihanya dengan kata tertentu. Misalnya: seseorang mengatakan bahwa ia/dia tertarik pada olahraga sepakbola.
2.        Minat yang diwujudkan (manifest interest )
Seseorang dapat mengekspresikan minat bukan melalui kata-kata tetapi melalui tindakan atau perbuatan, ikut serta berperan aktif dalam suatu aktivitas tertentu. Misalnya: seseorang dapat ikut serta dalam suatu organisai klub sepakbola atau ikut klub sepakbola.
3.        Minat yang diinventarisasikan (inventoried interest)
Seseorang menilai minatnya dapat diukur dengan menjawab terhadap sejumlah pertanyaan tertentu atau urutan pilihanya untuk kelompok aktivitas tertentu. Jika seorang menaruh minat terhadap sesuatu, minatnya tersebut menjadi motif yang kuat baginya untuk berhubungan secara lebih aktif dengan sesuatu yang diminatinya. Dalam hal ini jika seseorang berminat untuk menekuni bidang olahraga, dia akan selalu mempelajari dan berlatih pada bidang olahraga tersebut. Salah satu untuk memperkuat minatnya adalah jika olahraga tersebut menjadi alat baginya untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu masalah tujuan sangat penting dalam memahami tingkah laku seseorang dalam minat terhadap suatu olahraga.
Dengan mengetahui tujuan, seseorang akan dapat mengarahkan minatnya dengan sebaik-baiknya. Selain karena tujuan tertentu, minat berolahraga dapat muncul karena bertambah luasnya lingkungan seseorang dan semakin banyaknya dia berhubungan dengan orang-orang di luar lingkungannya untuk menambah wawasan dari minat tersebut.

Selasa, 28 Juni 2011

DEFINISI ATAU PENGERTIAN BERPIKIR

Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan. Tiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Berpikir adalah satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Kita berpikir untuk menemukan pemahaman/pengertian yang kita kehendaki. Ciri-ciri yang teruama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Abstraksi dalam hal ini berarti : anggapan lepanya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan. Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang kongkrit. Jika kita pandang hanya warna sebungkus rokok itu,  maka warna itu kita lepaskan dari semua yang pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada  benda kongkret yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan. Sekarang warna itu sendiri kita pandang dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok.
Dengan demikian dalam arti yang luas kita dapat mengatakan : berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Dalam arti sempit berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan/pertalian antara anstraksi-abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tanggapan memegang peranan penting dalam berpikir, meskipun adakalanya dapat menganggu jalanya berpikir. Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun merupakan hasil berpikir dapat memberi banatuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaam selalu menyertai pula ; ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah/persoalan.

Senin, 27 Juni 2011

TIPS MENGERJAKAN TESIS DAN SKRIPSI

Pada berbagai Universitas atau Perguruan Tinggi ternyata masih banyak ditemukan beberapa mahasiswa yang menghadapi kesulitan dalam mengerjakan Tesis atau Skripsinya. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya wawasan dan pengetahuan mahasiswa dalam menulis karya ilamiah atau mungkin disebabkan faktor lain, seperti pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini saya bermaksud memberikan kepada anda, beberapa tips untuk mengerjakan Tesis dan Skripsi. Tipsnya dapat anda baca disini 

TAHAP PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

Adapun lima tahap pelaksanaan  Corporate Social Responsibility menurut Simon Zadek (Ancok, 2005) yang harus dilakukan perusahaan yang ingin sustainable (berkelanjutan), antara lain :
  1.  Defensive: Perusahaan bersikap reaktif. Mereka merespon kritik dari luar termasuk stakeholders seperti pelanggan, karyawan, dan investor dengan cara menolak dan bersikap menyangkal.
  2. Compliance: Perusahaan mematuhi peraturan yang ada, namun sebatas mematuhi. Tujuan utamanya adalah memproteksi reputasi dan menghindari kritik dari eksternal.
  3.  Managerial: Menyadari bahwa dalam jangka panjang perusahaan tak cukup hanya patuh atau mengandalkan kehumasan yang baik, maka perusahaan memberikan kewenangan bagi para manajernya untuk mengelola CSR, mulai dari persoalan-persoalan yang muncul berikut solusinya.
  4.  Strategic: Perusahaan sudah menyelaraskan praktik CSR dengan kompetisi bisnis dan berupaya menjadikan CSR sebagai keunggulan kompetitif yang akan berkontribusi pada kesuksesan dalam jangka panjang.
  5. Civil: Perusahaan berupaya keras untuk mempromosikan dan menyerukan praktik-praktik bisnis yang bertanggungjawab, sebagai kehirauan bersama

Tahap-tahap yang diutarakan oleh Zadek, yang berlaku secara berurutan itu tidak mudah bagi perusahaan dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun, bukan berarti perusahaan mesti berhenti hanya pada fase pertama dan kedua. setidaknya fase strategis harus menjadi tujuan karena CSR bisa menjadi keunggulan kompetitif di pentas global 

Sabtu, 25 Juni 2011

PENGERTIAN POLITIK DAN KOMUNIKASI POLITIK

Nimmo (1999) mengatakan bahwa  politik adalah  kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Dalam berbagai hal orang berbeda satu sama lain-jasmani, bakat, emosi, kebutuhan, cita-cita, inisiatif, perilaku, dan sebagainya. Kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen, perselisihan, dan percekcokan. Politik adalah kegiatan simbolik yang menyentuh sejumlah besar orang karena orang-orang menemukan makna dalam penggunaan lambang, pemuatan lambang, dan penyalahgunaan lambang pada komunikator politik. Politik, seperti komunikasi, adalah proses; dan seperti komunikasi, politik melibatkan pembicaraan. Pembicaraan yang dimaksud adalah segala cara orang bertukar simbol-kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Ilmuwan politik Mark Roelofs  (Nimmo, 1999) mengatakan dengan cara sederhana bahwa politik adalah pembicaraan atau lebih tepat, kegiatan politik adalah berbicara. Komunikasi meliputi politik. Bila orang mengamati konflik, mereka menurunkan makna perselisihan melalui komunikasi. Bila orang menyelesaikan perselisihan mereka, penyelesaian itu adalah hal-hal yang diamati, diinterpretasikan, dan dipertukarkan melalui komunikasi.
Pembahasan mengenai komunikasi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu diawali dengan konsepsi mengenai komunikasi publik. Secara umum, yang dikategorikan sebagai komunikasi publik adalah setiap interaksi yang dilakukan terhadap sejumlah orang (publik) yang memuat suatu ”pesan” atau mengandung suatu maksud atau tujuan. Bilamana materi atau maksud yang terkandung dalam komunikasi public itu memuat pesan politik maka dikatakanlah komunikasi politik (Suwardi, 2002).
Menurut Almond dan Powell (Nasution 2008) komunikasi politik merupakan suatu fungsi sistem yang mendasar (basic function of the system) dengan konsekuensi yang banyak untuk pemeliharaan ataupun perubahan dalam kebudayaan politik dan struktur politik. Seseorang tentunya dapat mengasumsikan bahwa semua perubahan penting pada sistem politik akan menyangkut perubahan pada pola-pola komunikasi, dan biasanya baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat. Semua proses sosialisasi misalnya, merupakan proses komunikasi, meskipun komunikasi tidak harus selalu menghasilkan perubahan sikap (attitude change).

Kamis, 23 Juni 2011

PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

Dr. H. Moh. Yuhdi, S.H., M.H.
A.    Pendahuluan
Agenda Penguatan Partisipasi dalam Demokrasi

Sejatinya agenda ke depan bangsa ini tidak bisa lepas dari  upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang demokratik. Caatan ini penting mengingat karakter dan kamampuan berdemokrasi rakyat masih sangat lemah, sementara secara factual, rakyat sebenamya hidup di ruang yang sangat terbuka. Persoalan mendasar adalah rakyat bidup di tengah demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca lengsernya Soeharto yang kemudian diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, akan tetapi belum diiringi oleh kematangan mental dan sikap dalam berdemokrasi. Kebebasan berpolitik, tidak ditopang oleh rasionalitas, daya kritis, dan kemandirian berpikir dan bersikap. Padahal nilai utama yang diusung oleh demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang politik rasional dalam diri setiap rakyat. Kebebasan yang tidak didasari oleh rasionalitas politik akhir-akhir ini sangat nampak dalam upaya penguatan kekuasaan pada aras politik lokal. Peluang konflik politik dalam perebutan kekuasaan akan meningkat seiring ditetapkannya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung mulai tahun 2005. Di tengah belum menguatnya kesadaran poitik di level grass root, maka momentum Pilkada menjadi pertarungan politik yang selalu membuka ruang potensi konflik, manipulasi, money politics, dan intimidasi.
Dalam konteks penguatan demokratisasi, pilkada langsung sebenarnya berpeluang untuk melakukan pematangan dan penyadaran berdemokrasi. Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal dalam menju lajur demokrasi yang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print (1999), pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Aktualisasi dan civic education sebenarnya terletak kepada tingkat partipasi poitik rakyat di setiap momentum politik seperti pemilu. Partisipasi politik yang lemah berakibat pada sebuah realitas politik yang kini menggejala di permukam dan terkait dengan, era otonomi daerah yaitu terjadinya kesenjangan politik antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan lokal, di mana aktor pelaksana kekuasaan lokal (baik unsur birokrasi maupun legislatif) sering melakukan langkah pengambilan dan pelaksanaan kebijakan politik yang tidak selaras dengan aspirasi kolektif masyarakat sipil. Lembaga kekuasaan politik lokal yang sebagian besar didominasi kalangan partai politik peraih suara Pemilu 2004 yang lalu seringkali tidak mampu menjalankan fungsi keterwakilan politik dan kurang optimal dalam peran sebagai pelayan aspirasi publik. Seberapa jauh Pilkada selama ini memberi ruang partipasi politik bagi rakyat? Apakah pilkada mampu menjadi titik persinggungan rakyat dan Negara sebagai manipestasi partisipasi politik rakyat?
Dalam konteks Negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, memelobi dan memprotes suatu kebijakan yang ditelurkan oleh pemerntah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspirasi terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi di atas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit-hubungan Negara dan masyarakat (dalam bingkai governance)-dan juga politik secara luas-semua bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses berhimpun untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terbadap keputusan yang diambil partisipasi politik rakyat sebetulnya adalah tema sentral dan proses demokratisasi Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan sebagai subyek dalam menentukan arah masa depan society-nya.[1]
Di Indonesia perdebatan tentang partisipasi politik hanya terbatas pada angka tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan umum. Sebelum reformasi bergulir, angka itu selalu berada pada kisaran 90 persen, maka dengan mudah orang akan menyebut bahwa partisipasa politik masyarakat tinggi. Tapi sebetulnya bukan itu, atau tepatnya bukan satu-satunya ukuran tentang tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Yang Iebih penting adalah adanya jaminan dan mekanisme yang baku, dan comfortable bagi semua rakyat untuk dapat menyalurkan pikiran-pikirannya kedalam sebuah institusi formal. Satu peran rakyat yang amat penting adalah melakukan social control terhadap pemerintah, maupun institusi-insitusi lain seperta DPR ataupun peradilan. Secara kasat mata mungkin bisa kita mengatakan bahwa partisipasi politik masyarakat akhir-akhir ini meningkat. Intensitas demo yang makin marak, interaktif TV dan radio yang makin mendominasi program-program massa, serta meningkatnya keterlibatan publik dalam perdebatan tentang satu wacana tertentu. Tapi apakah semua kondisi yang disebutkan tadi sudah memberikan jaminan bahwa partisipasi politik sudah benar-benar terjadi?

B. Pembahasan
Pengaturan Pemilukada

Pilkada dan pemilukada adalah dua agenda politik lokal yang masing-masing berkiblat pada rezim yang berbeda. Pilkada merujuk pada rezim pemerintah daerah (pemda), sedangkan pemilukada mengacu pada rezim pemilu. Memang dalam UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Bab VII B tentang Pemilu, tidak ditemukan satu kali pun istilah pemilukada. Pemilu, sebagaimana disebutkan pada Pasal 22 E UUD 1945 ayat (2), diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres, serta DPRD.
Istilah pemilukada baru dapat ditemukan pada UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (4) yang berbunyi “Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdaarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendeknya, berdasarkan UU tersebut, pilgub/pilbup/pilwalkot merupakan bagian dari pemilu eksekutif -selain pemilu presiden- yang wewenang penyelenggaraannya berada di tangan KPU.[2]
Regulasi. untuk memilih gubernur/bupati/walikota memang tak dijabarkan secara rinci dalam UU 22/2007. Lagi pula regulasi yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan pilgub/pilbup/pilwalkot selama ini adalah UU No. 32/2004 tentang Pemda sebagaimana telah diubah dengan UU 12/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP 49/2008. Namun istilah yang muncul dalam regulasi tersebut bukanlah pemikdcada, tetapi pilkada.
Dalam konteks penyelenggaraan pilgub/pilbup/pilwalkot, UU 22/2007 memiliki spirit yang berbeda dengan UU 32/2004. Spirit yang berbeda di antaranya dapat dilibat pada ranah pertanggungjawaban. Berdasarkan UU 22/2007, KPU provinsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab kepada KPU pusat. Namun dalam UU 32/2004 disebutkan, KPU provnsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab kepada DPRD.
Begitu pula dalam hal teknis seperti pemungutan suara, pilkada merujuk pada UU 32/2004 menggunakan cara mencoblos. Namun, rezim pemilu merujuk pada UU 10/2008 tentang Pemilu sudah menggunakan ara mencontreng. Terbuka pula ruang untuk menggunakan KTP seperti Pilpres 2009 laku Selain itu, UU 32/2004 masih mengenal kartu pemilih, sedangkan UU 10/2007 tidak mengenal kartu pemilih?
Sebagai konsekuensi mengikuti spirit UU 22/2007, KPU tidak lagi menyebut agenda pilgub/pilbup/pilwalkot dengan istilah pilkada, tetapi pemilukada. Namun, tiadanya undang-undang yang mengatur secara rinci tentang pemilukada, jelas membuat KPU provinsi dan kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pemilukada tahun ini kerepotan dan gamang dalam menentukan acuan regulasi yang akan dipakai. Kegamangan bahkan telah menghantui KPU provinsi dan kabupaten/kota sejak memulai proses penyusunan tahapan, jadwal, dan program pemilukada yang harus ditetapkan dalam bentuk keputusan. Problemnya, KPU provinsi dan kabupaten/kota tak bisa sembarangan berinisiatif membuat suatu keputusan tanpa berpedoman pada peraturan peeundang-undangan yang jelas.
Ketidakpastian regulasi ini sesungguhnya berpotensi melahirkan banyak kasus pelanggaran dan sengketa pemilukada. Mengingat hal itu, elite politik semestinya sejak jauh-jauh hari melakukan langkah-langkah konkret menyediakan payung hukum pemilukada. Namun hingga hari ini, harapan tersebut belum menampakkan kenyataan.
Sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilukada, KPU tentu tak bisa menunggu lama dalam keadaan pasif. Maklum, pemilukada 2010 yang akan digelar di berbagai daerah sudah disepakati tak bisa ditunda-tunda lagi. Syukur, KPU baru-baru ini berinisiatif menerbitkan berbagai peraturan pemilukada. Langkah ini patut mendapat apresiasi positif dari  semua pihak.
Kita memang tak bisa menutup mata kalau beberapa ketentuan dalam UU 32/2004 masih diadopsi dan mengisi pasal-pasal dalam peraturan KPU. Dalam Peraturan KPU No. 72/2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di TPS misalnya, masih muncul ketentuan penggunaan kartu pemilih dan teknis pemungutan suara dengan cara mencoblos. Padahal, kedua hal itu sudah ditinggalkan dalam Pemilu 2009.

Prosedur dan Tata Cara Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Sistem pilkada dapat dibedakan dalam 2 jenis, yakni pilkada langsung dan pilkada tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metoda tersebut adalah bagaimana partisipasi politik rakyat dilaksnakan atau diwujudkan. Tepatnya adalah metoda penggunaan suara yang berbeda.[3]
Pilkada yang tidak memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipiih, dapat disebut dengan tak langsung, seperti sistem penegakan dan/atau penunjukkan oleh pemerintah pusat atau sistem pemilihan perwakilan oleh anggota DPRD. Dalam sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat, kedaulatan atau suara rakyat diserahkan bulat-bulat kepada pejabat pusat, baik Presiden maupun Mendagri. Dalan sistem pemilihan perwakilan oleh DPRD, kedaulatan atau suara rakyat diwakilkan kepada anggota DPRD. Sebaiiknya pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi implementasi hak pilih aktif. Seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itulah, pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi partisipatoris sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis.[4]
Cara paling efektif untuk membedakan pilkada langsung dan pilkada tak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pilkada tak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Rakyat  ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elite. Rakyat sekadar menjadi objek politik, misalnya kasus dukung-mendukung. Penonjolan peran dan partisipasi terletak pada elite politik, baik DPRD atau pejabat pusat. Dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat jelas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan subjek politik. Mereka menjadi pemilih, penyelenggara, pemantau, dan bahkan pengawas. Oleh sebab itu, dalam pilkada langsung, selalu ada tahapan kegiatan pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan sebagainya.[5]
Pilkada berdasarkan UU No. 32/2004 memenuhi syarat disebut sebagai pilkada langsung karena dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan rakyat sebagai pemilih, memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui partai politik untuk menjadi calon, menjadi penyelenggara, dan mengawasi jalannya pelaksanaan kegiatan.
Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam 2 tahap, yakni masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 65 ayat (1), pilkada dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Masing-masing tahap dilakukan berbagai kegiatan yarg merupakan proses pilkada langsung. Pelaksanaan tahapan kegiatan tidak dapat melompat-lompat. Dalam Pasal 65 Ayat (2) disebutkan kegiatankegiatan yang tercakup dalam masa persiapan, yakni:
1.       Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
2.      Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
3.      Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tabapan pelaksanaan pemilihan kepala deerah;
4.      Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;
5.      Pembentukan dan pendaftaran pemantau.
Dalam kegiatan masa persiapan, keterlibatan rakyat sangat menonjol dalam pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS. Rakyat memiliki akses untuk memantau melalui mekanisme uji publik namun mendaftarkan diri sebagai anggta Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS.
Sementara itu, tahap pelaksanaan terdiri dari 6 kegiatan, yang masing-masing merupakan rangkaian yang saling terkait. Sesuai Pasal 65 Ayat (3) tahap pelaksanaan pilkada meliputi:
1.       Penetapan daftar pemilih;
2.      Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
3.      Kampanye;
4.      Pemungutan suara
5.      Penghitunga suara; dan
6.      Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
Dari 6 kegiatan tahap pelaksanaan tersebut, keterlibatan atau paitisipasi masyarakat sebagai pemilih dan pemantau terlihat dalam penetapan daftar pemilih kampanye; pencalonan, pemungutan suara dan penghitungan suara. Hal itulah yang mencirikan bahwa pilkada berdasarkan UU No.32/2004 merupakan pilkada langsung. Namun pesyaraan pilkada langsung akan lebih lengkap — dalam pengertian warga menggunakan hak pilih aktif — apabila rakyat atau warga terlibat langsung dalam tahap pendaftaran dan penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih. Keterlibatan tersebut tidak hanya menjadi calon namun juga mengawasi proses yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Pendaftaran pemilih merupakan tahapan kegiatan pertama yang dilaksanakan oleb KPUD dan jajarannya, khususnya PPD (Panitia Pemungutan Suara) di desa/kelurahan. PPS menetapkan daftar pemilih terakhir sebagai daftar pemilih sementara (DPS). DPS diumumkan untuk mendapatkan tanggapan masyarakat, dan dari tanggapan masyarakat akan ditetapkan sebagai Daftar Pemilih tambahan (DPt). DPt tersebut kemudian juga diumumkan untuk ditanggapi masyarakat dan kemudian diperbaiki. Dengan dasar DPS dan Daftar Pemilih tambahan tersebut PPS menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT), yakni daftar pemilih yang dapat menggunakan hak pilih dan pemungutan suara. KPUD Kabupaten/Kota menerima DPT tersebut untuk dibuatkan Kartu Pemilih pilkada langsung. Panwas bisa mengoptimalkan pendaftaran pemilih dengan menyampaikan temuan, dari masyarakat atau hasil temuan sendiri, tentang ketidakbenaran pelaksanaan pendaftaran pemilih, seperti diskriminasi pendaftaran, adanya pemilih yang belum terdaftar, dan sejenisnya.
Sebenarya pendaftaran pemilih pilkada langsung bisa lebih efisien apabila memegang prinsip sustainabiitas (keberlanjutan), dalam arti memanfaatkan daftar pemilih terdahulu. Namun agaknya sistem pendaftaran pilkada langsung mengabaikan efisiensi tersebut. Proses pemutakhiran dan validasi data pemilih yang sesungguhnya secara otomatis bisa dilaksanakan sendiri oleh KPUD Kabupaten/Kota sampai PPS dilimpahkan pada Dinas Kependudukan dan/atau Catatan Sipil di Kabupaten/Kota. Selain itu, KPUD Kabupaten/Kota harus mencetak Kartu Pemilih baru padahal bisa memanfaatkan Kartu Pemilih terdahulu.[6]
Arus in-put mengalir hanya dari partai politik atau gabungan partai politik dalam tahapan pencalonan. Tahapan kegiatan pencalonan dilakukan KPUD dengan membuka dan mengumumkan masa pendaftaran calon, meneliti administrative persyaratan calon dan partai politik atau gabungan partai politik, dan menetapkan calon pilkada langsung. Inti tahapan kegiatan ini adalah seleksi administratif, yaitu verifikasi atau penelitian berkas-berkas persyaratan dengan cara melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenang. KPUD menggunakan pendekatan legal formal, yakni meminta klarifikasi keabsahan persyaratan berdasarkan hasil peneitian dan pengujian yang dilakukan instansi pemerintah yang berwenang, seperti Rumah Sakit Umum Daerah, Pengadilan Negeri, Dinas Pendidikan, dan sebagainya. Dengan cara tersebut kinerja KPUD dalam penelitian persyaratan calon sangat tergantung pada kesungguhan-sungguhan, profesionalisme dan komitemen instansi pemerintah yang berwenang.Jika dari hasil penelitian tersebut masyarakat mengeluhkan atau memandang ada permasalahan, dapat memberikan masukan ke KPUD. Panwas pilkada juga dapat memberikan masukan. Terhadap kasus semacam itu, KPUD wajib menindaklanjuti dengan mengadakan verifikasi dan klarifikasi ulang terhadap persyaratan calon.
Proses selanjutnya adalah kampanye. Sebelum dilakukan tahapan kegiatan kampanye, KPUD melaksanakan pengundian dan penetapan nomor calon. KPUD harus mengumumkan calon dan nomor calon kepada masyarakat. Kampanye merupakan bagian pilkada Iangsung dilakukan oleh pasangan calon atau tim kampanye dengan penekanan pada penyampaian visi, misi dan program kerja. KPUD mengatur dan menetapkan alokasi waktu dan tempat secara adil kepada setiap pasangan calon. Dalam rangka pemberdayaan kampanye sehingga menjadi wahana kmunikasi dan pendidikan politik KPUD berkewajiban menyelenggarakan debat publik antar pasangan calon. Dalam debat publik itulah interaksi calon dan warga terjadi. Dengan dibantu Panwas pilkada, KPUD menegakkan aturan main kampanye, termasuk memberikan sanksi atas pelanggaran ketentuan kampa ye seperti mobilisasi pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, penggunaan fasilitas negara, dan sebagainya.
Proses pilkada langsung dilanjutkan dengan tahapan kegiatan pemungutan suara dan penghitungan suara. Inilah kegiatan dimana “bekal” yang diperoleh warga selama masa kampanye digunakan. Penyelenggara pilkada langsung, khususnya KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), berkewajiban memberikan ruang seluas-luasnya bagi pemilih untuk menggunakan hak pilih (universal suara) dengan tanpa mengurangi kewaspadaan dan komitmen menjaga keamanan proses pemilihan dan pernungutan suara dalam rangka penegakan prinsip one person, one vote, one value. Sebelum pemungutau dilaksanakan, KPPS mempersiapakn TPS, menerima saksi calon, dan menyosialisasikan cara pencoblosan dan keabsahan suara.
Pemungutan suara dilaksanakan antara jam 07.00 sampai 13.00 waktu setempat. Selanjutaya, diikuti dengan penghitungan suara di KPPS. Hasil penghitungan suara di KPPS diteruskan di PPS untuk direkapitulasi. Demikian seterusnya sanpai KPUD Kabupaten/Kota atau KPUD Provinsi. KPUD inilah yang menetapkan hasil perolehan suara calon sebagai dasar penetapan pasangan calon terpilih pilkada langsung Panwas bertugas mengawasi pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, mengawasi rekapitulasi suara di PPS, PPK dan KPUD. Keberatan Panwas, pemantau dan masyarakat dapat disalurkan melalui saksi. KPPS, PPS, PPK dan KPUD menerima dan dapat menindakianjuti keberatan para saksi dalam proses penghitungan dan rekapituasli suara.
Output proses pilkada langsung adalah terpilihnya pasangan calon yang memenangkan kompetisi, yaitu pada tahapan penetapan calon terpilih. Penetapan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan perolehan suara. Pasangan calon terpilih ditetapkan dalam rapat pleno KPUD yang khusus mengagendakan penetapan pasangan calon terpilih. Hasil penetapan tersebut kemudian disampaikan kepada DPRD. Apabila ada pengajuan keberatan terhasil hasil pilkada oleh pasangan calon, KPUD hanya menyampaikan pemberitahuan kepada DPRD. Setelah adanya putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap pengajuan keberatan, KPUD menyampaikan penetapan pasangan terpilih.
Sebelurn pelantikan pasangan calon terpilih, DPRD mengusulkan pengesahan kepeda Presiden (untuk Gubernur/Wakil Gubernur) atau kepada Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden (untuk Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota), Proses pilkada langsung diakhiri dengan pelantikan pasangan calon terpilih dalam rapat paripurna DPRD. Gubernur/Wali/Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden.

Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

Di tengah negara-negara demokrasi, sangat mungkin Indonesia termasuk negara yang paling sering menggelar pesta demokrasi. Mulai dari pemilihan umum kepala Desa (pemilukades), pemilihan umum kepala daerah (pemilikada) kabupaten kota/provinsi, Pemilu Presiden (pilpres), hingga Pemilu legislatif. Jika dikaitkan dengan luasnya wilayah negeri ini, yang juga diikuti dengan banyaknya struktur kepemerintahan, pesta demokrasi itu seakan menjadi acara ritual demokrasi sepanjang tahun bahkan sepanjang bulan. Tentunya cukup besar biaya yang mesh dikeluarkan untuk melangsungkan hajatan ini. Juga cukup banyak pengalaman demokrasi yang bisa diperoleh bangsa ini dari pesta rakyat ini.
Pesta demokrasi, apapun bentuknya, tentu berangkat dari spektrum demokrasi. Pesta ini selau diawali dengan niatan hendak memenuhi tuntutan demokrasi. Pesta ini dijalankan berdasarkan proses-proses dan nilai-nilai demokrasi. Pesta ini juga diharapkan bisa melahirkan sebuah hasil yang sejalan dan sesuai dengan kriteria demokrasi. Dengan demikian pemilukades, pemilukada, pilpres dan pemilu legislatif adalah pesta-pesta yang dijalankan untuk dan atas demokrasi.[7]
Semuanya hanya merupakan sarana hanya menuju demokrasi dan bukanlah sekedar bertujuan untuk memilih dan melegimitasi pemimpin dan wakil-wakilnya. Lebih dari itu, untuk mengupayakan bagaimana agar nilai-nilai demokrasi dapat tumbuh subur dan berkontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tidak dipungkiri, setiap pesta demokrasi tentu mengimplikasikan adanya perbedaan pendapat dan sikap di tengah peserta atau siapapun yang terlibat dalam pesta demokrasi. Baik antar pemilih, antar yang dipilih, maupun antara pemilih dan yang dipilih. Perbedaan itu tentunya merupakan hal yang sah-sah saja, lumrah, fitrah, bahkan dibenarkan dalam teori demokrasi. Sebab, demokrasi sejatinya memberikan ruang yang luas bagi setiap individu dalam mengekspresikan pendapat dan sikap atas keputusan bersama yang akan diambil.
Ketika telah lahir kepuasan bersama yang didukung suara mayoritas dan diasumsikan sebagai keputusan terbaik, maka menjadi kewajiban bagi setiap individu yang berbeda pendapat dan sikap itu untuk menghargai dan mendukung keputusan tersebut. Yang menjadi masalah, sering kali even-even pesta demokrasi yang mengagendakan perebutan ‘kursi kekuasaan’ di atas nenyisakan jejak perbedaan antar individu yang berujung pada ketersinggungan sosial, perselisihan sosial, atau kerusuhan sosial. Bahkan dalam lingkup lebih mikro, perbedaan itu kerap membuat sesama anggota keluarga, sesama anggota keluarga, sesama anggota keluarga satu RT/RW, ataupun sesama anggota satu komunitas menjadi tidak saling tegur, saling menjelekkan, saling fitnah, bahkan saling bermusuhan. Mengapa hal ini sampai terjadi?
Jika dirinci secara teknis spesifik, tentu banyak faktor yang bisa dihadirkan untuk ‘mengurai’ penyebab terjadinya konflik sosial di atas. Bisa saja karena adanya black campaign, agit3si dan propaganda negatif, eksploitasi unsur SARA, dan stabilitas keamaaan yang tidak kondusif. Atau juga karena sistem penyelenggaraanya yang tidak fairly atan tidak jujur dan adil. Namun semua itu sebenarnya bermuara pada satu sebab, yakni belum dewasanya sikap demokrasi, mulai dari masyarakat para kompetitor kekuasaan, tim sukses, hingga para penyelenggara pesta demokrasi. Belum dewasanya sikap berdemokrasi ini tentu memiliki dampak yang sangat luas. Para calon akan tergiur melakukan berbagai macam cara untuk menjatuhkan lawan, asalkan dirinya menang. Warga masyarakatpun akan sulit menghargai perbedaan, apalagi untuk bisa hidup di tengah perbedaan. Para penyelenggara pesta demokrasi - juga kalangan organisasi sosial kemasyarakatan - yang sejatinya bersifat independen justru terlibat dalam prilaku ketidaknetralan atau aksi dukung-mendukung. Sehingga berpotensi memperlebar jurang perpecahan ditengah masyarakat.
Sikap dewasa dalam berdemokrasi merupakan sikap yang mengindikasikan adanya kesadaran dan kemauan politik seseorang untuk mematuhi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Di dalamnya, persoalan kepatuhan akan aturan main demokrasi benar-benar dipegang teguh dan semaksimal mungkin dia terapkan di dalam setiap pristiwa atau momentum demokrasi.
Tidak terkecuali ketika dirinya melakoni pemilukada sebagai salah satu wujud demokrasi. Karenanya, seseorang yang memiliki sikap dewasa dalam berdemokrasi akan selalu menghindarkan diri bahkan menolak secara tegas cara-cara yang dinilainya demokratis itu.
Kalaupun dirinya berniat membangun pertisipasi politik warga masyarakat untuk seide dan sejalan dengan sikap politiknya, hal itu dilakukan secara santun berdasarkan prinsip demokrasi. Semua berlangsung dalam suasana yang kondusif, dialogis, argumentative, egaliter, dan berorientasi demi kemajuan bersama.
Kedewasaan berdemokrasi seseorang juga ditunjukkan dengan kekonsistenannya dalam membudayakan sikap baik sangkanya (husnuzhan) kepada pihak lain yang secara kebetulan tengah berperan sebagai ‘lawan politiknya’. Berbaik sangka adalah kunci keberbasilan di tengah upaya dan harapan akan lahirnya suasana perhelatan politik yang membebaskan dari fenomena saling mejatuhkan, memperolok, fitnah, serta ber — black campaig. OIeh karena itu, kehadiran pandangan dan figur lawan politik seharusnya disambut potif. Kehadirannya mesti dinilai membawa potensi kebaikan. Soal mana yang terbaik, bukanlah wilayah kita untuk menjustifikasinya. Tetapi biaranlah publik, melalui pilihan dibilik suaranya, yang menentukannya.
Hal lain yang mencolok pada seseorang yang memiliki sikap demokrasi adalah besarnya rasa cinta, rasa persaudaraan (ukhuwah), kerjasama, dan persatuan dalam dirinya. Perasaan ini membuat yang bersangkutan tetap memandang penting kebersamaan dan kekompakan dengan sesama meskipun di antara mereka sempat terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok kekuatan politik dan dukung-mendukung kekuatan politk tertentu.

C. Kesimpulan 

Dalam mindset demokrasi, upaya meraih simpati masyarakat menjelang pemilukada yang dilakukan calon dan para pendukungnya tentu bukan hal yang janggal. Hanya saja, ketika aturan demokrasi telah secara tegas melarang adanya kampanye calon sebelum memasuki masa kampanye calon sebagaimana yang menjadi agenda proses pemilukada, upaya itu menjadi janggal (tidak demokratis) jika telah diikuti dengan anjuran agar masyarakat mau memilihnya di pemilukada nanti. Apalagi jika kegiatan itu juga telah dirasuki upaya saling fitnah, saling menjegal, saling mendiskriditkan, dan saling mengadu — domba antar konstituen masyarakat.
Di sinilah sekali lagi kita perlu menyambut kedatangan pemilukada dengan sikap kedewasaan berdemokrasi. Hanya dengan sikap dewasa dalam berdemokrasi, maka pemilukada kedepan akan memiliki nilai yang bermakna bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.[8]

D. Saran

Sikap dewasa dalam berdemokrasi merupakan sikap yang mengindikasikan adanya kesadaran dan kemauan politik seseorang untuk mematuhi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Di dalamnya, persoalan kepatuhan akan aturan main demokrasi benar-benar dipegang teguh dan semaksimal mungkin dia terapkan di dalam setiap pristiwa atau momentun demokrasi. Tidak terkecuali ketika dirinya melakoni pemilukada sebagai salah satu wujud demokrasi. Karenanya, seseorang yang memiliki sikap dewasa dalam berdemokrasi akan selalu menghindarkan diri bahkan menolak secara tegas cara-cara yang dinilainya demokratis itu. Kalaupun dirinya berniat membangun pertisipasi politik warga masyarakat untuk seide dan sejalan dengan sikap politiknya, hal itu dilakukan secara santun berdasarkan prinsip demokrasi. Semua berlangsung dalam suasana yang kondusif, dialogis, argumentative, egaliter, dan berorientasi demi kemajuan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan A. Zaini Bisri, 2006. Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar,Yogyakarta
Atip Tartiana, 2010. Tahun Pemilukada 2010, artikel dalam Pikiran Rakyat, 5 Januari 2010
Hendri Zainudin, 2907. Pemilukada dan Kedewasaan Berdemokrasi, Berita Pagi, Rabu 12 Desember 2007
Irvan Mawardi, 2008. Pilkada dan Partisipasi Politik, artikel dalam www. jppr.org
Joko J. Prihatmoko, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta



[1] Irvan Mawardi, 2008, Pilkada dan Partisipasi Politik  ... Ibid, hlm. 3
[2] Atip Tartiawa, 2010, Tahun Pemilukada 2010, artikel dalam Pikiran Rakyat, 5 Januari 2010, hIm. 2-3
[3] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hl, 209.
[4] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung  ... Ibid., hlm. 212.
[5] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung ... Ibid, hlm 210
[6] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung  ... Ibid., hlm. 209.
[7] Hendri Zainudin, 2007, Pemilukada dan Kedewasaan Berdemokrasi, Berita Pagi, Rabu 12 Desember 2007, hlm. 1.
[8] Hendri Zainudin, 2007, Pemilukada dan Kedewasaan Berdemokrasi  ... Ibid, hlm. 2


PENGERTIAN SEMIOTIK

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, dalam Sobur, 2002 : 95). Van Zoest (dalam Sobur, 2002 : 95) mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan  dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Hoed (dalam Nurgiyantoro, 2000 : 40) mengartikan semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Zaidan, dkk (2000 : 185) mengartikan semiotik adalah ilmu yang meneliti tanda dan proses pemaknaan tanda secara tradisional. Sugihastuti (2002 : 113) mengartikan semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem tanda’.
Para pakar susastra sudah mencoba mendefinisikan semiotik yang berkaitan dengan bidang disiplin ilmunya. Dalam konteks susastra, Teeuw (dalam Sobur, 2002 : 96) memberi batasan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi. Beliau kemudian menyempurnakan batasan semiotik itu sebagai model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun (dalam Sobur, 2002 : 96).
Hartoko (dalam Sobur, 2002 : 96) memberi batasan semiotik adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Luxemburg (dalam Sobur, 2002 : 96)  mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambing-lambang, sistem-sistemnya dan proses perlambangan.
Batasan yang lebih jelas dikemukakan Preminger (dalam Sobur, 2002 : 96) dengan mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Menurut Preminger (dalam Sobur, 2002 : 96), meskipun refleksi tentang tanda itu mempunyai sejarah filsafat yang patur dihargai, namun semiotik atau tanda semiologi dalam arti modern berangkat dari seorang ahli bahasa. 

Rabu, 22 Juni 2011

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA DAN PERUBAHAN FISIK

Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya  meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap  dan berperilaku dewasa.  Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah sebagai berikut: 1)  Mampu menerima keadaan fisiknya, 2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis 4) Mencapai kemandirian emosional 5) Mencapai kemandirian ekonomi 6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat 7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua 8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa, 9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan 10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.           
Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009) 
Perubahan Fisik Pada Remaja
1. Tanda seks primer Tanda seks primer  merupakan tanda yang menunjukkan alat kelamin Pada wanita Alat kelamin wanita bagian luar terdiri dari:
a) Bibir luar (labia mayora)
b) Labia minor (labia minora)
c) Klitoris, yaitu bagian penuh dengan ujung-ujung syaraf sehinngga sangat peka terhadap rangsangan/sentuhan.  Sentuhan-sentuhan pada klitoris dapat menyebabkan terjadinya orgasme  (puncak kenikmatan seksual) pada wanita.
d) Uretra (liang saluran seni)
e) Liang  senggama (vagina) berfungsi sebagai jalan keluar haid, jalan masuk penis dalam senggama, dan jalan keluar bayi waktu melahirkan.
Alat kelamin wanita bagian dalam terdiri dari:
a) Hymen (selaput dara)
b) Mulut rahim (serviks) yang menghubungkan vagina dengan rahim
c) Rahim (uterus), yaitu jaringan sebesar telur ayam, tetapi punya kemampuan melar yang sangat besar sekali dalam mengandung bayi.
d) Saluran telur  (tuba palopii) disebelah kanan dan kiri rahim
e) Indung  telur  (ovarium) yang menghasilkan hormone-hormon estrogen, progesterone dan sel telur.
Pada laki-laki. Alat kelamin pria terdiri dari:
a) Testis menghasilkan hormon-hormon testosterone dan  androgen dan spermatozoa diproduksi dalam jumlah ratusan juta.
b) Saluran deferens (vas deferens), yaitu yang menghubungkan testis dengan kelenjar prostat.
c) Kelenjar prostat yaitu tempat penyimpanan spermatozoa untuk sementara.
d) Saluran kencing  (uretra),  yaitu tempat keluarnya air mani dalam keadaan penis berereksi  (Sarwono, 2010)
2.  Tanda seks sekunder
Tanda-tanda seks  sekunder merupakan tanda-tanda  badaniah yang membedakan pria dan wanita. Pada wanita  bisa ditandai antara lain: pertumbuhan  tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap dikemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid, dan tumbuh bulu- bulu ketiak.
Pada laki-laki  bisa  ditandai dengan  pertumbuhan tulang-tulang, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, bulu kemaluan menjadi keriting, tumbuh rambut-rambut halus diwajah  (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak,  rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap,  tumbuh bulu didada (Sarwono, 2010)

Jumat, 17 Juni 2011

STRATEGI PROGRAM LAYANAN BAGIAN HUBUNGAN MASYARAKAT PADA KANTOR WALIKOTA LHOKSEUMAWE

OLEH :

SABARUDDIN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, maka dituntut adanya paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu paradigma sistem pemerintahan yang mengarah pada ”Good Governance”.
Merujuk pada perkembangan kebijakan pemerintahan yang tersebut diatas, tampaknya penyelenggaraan pelayanan pemerintahan yang baik, sekarang dituntut untuk mulai mengembangkan dimensi keterbukaan, mudah diakses,  accountable dan transparan. Kantor-kantor pemerintah, seperti departemen, atau instansi pemerintah lainnya, mulai menyadari bahwa untuk membangun pemerintahan yang sehat, bersih dan berwibawa, sangatlah diperlukan banyaknya kritikan dan pendapat pihak lain atau pendapat publik. Salah satu bagian atau lembaga yang berada di kantor pemerintah yang bertugas mewujudkan bentuk keterbukaan, transparan dan mudah diakses adalah bidang Hubungan Masyarakat (Humas). Sebagaimana diketahui, Humas di dalam menjalankan fungsinya, mengemban tugas guna melayani kepentingan publik, yang pada akhirnya membangun citra kantor atau organisasi dimana humas itu berada. Mengenai pendekatan fungsi Humas dari Bertrand R. Canfield dalam bukunya ”Public Relations Principles and Problem", yang dikutip oleh Rosady Ruslan (1995:42) mengemukakan unsur-unsur utama dalam fungsi humas adalah mengabdi kepentingan publik, memelihara komunikasi yang baik, dan menitikberatkan moral dan tingkah laku yang baik.
Selain itu, fungsi humas juga bertujuan guna memperoleh kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding) dan citra yang baik (good image) dari masyarakat (public opinion). Sasaran humas adalah menciptakan opini publik yang favorable dan menguntungkan semua pihak. Tugas itu tentu tidaklah semudah seperti membalik telapak tangan. Upaya-upaya yang dilakukan humas, haruslah usaha untuk menciptakan hubungan harmonis antara suatu badan organisasi dengan publiknya dan masyarakat luas melalui suatu proses komunikasi timbal balik atau dua arah (Rahmadi, 1994:22).
Sejauh ini, khusus untuk pekerjaan humas pada berbagai instansi pemerintah, ada suatu hal yang biasa terjadi dan menjadi suatu kebiasaan yang berlaku, bahwa bagian humas baru akan bergerak apabila ada instruksi dari atasan (top down), atau apabila ada suatu kegiatan pemerintahan yang sifatnya rutin dilaksanakan. Jikalaupun ada kegiatan yang mau mendengarkan feed back atau timbal balik dan masukan yang positif, hal itu hanyalah reaktif pada sebatas analisis di media belaka. Jadi dalam hal ini, posisi eksistensi dan peran humas di berbagai instansi pemerintahan baik yang berada di pusat maupun instansi pemerintah yang berada di daerah tidak bisa maksimal, yakni hanyalah sebatas corong, jalur komunikasi atau hanyalah sebagai media bagi para pejabat pemerintah untuk bicara kepada publiknya, tentang hal-hal apa yang akan dilakukan oleh kantor atau organisasi pemerintah tersebut, sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Drs. H. Muadz, dalam "Two Days Indonesian Public Relation, Seminar and Workshop", di Bandung, 2003. Meskipun pernyataan tersebut tidak bisa digeneralisasikan untuk semua lembaga atau departemen yang ada di pemerintah, tetapi beberapa pembicara dalam seminar dan workshop itu melihat bahwa, secara umum fungsi layanan humas yang ada di lembaga atau departemen di pemerintahan, belum bisa menempatkan posisi humas sebagaimana yang diharapkan publiknya.
Posisi humas yang ada di Kantor Walikota Lhokseumawe, haruslah melaksanakan sebahagian tugas pokok Kantor Walikota Lhokseumawe, yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), sebagaimana yang disebutkan pada pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita tersebut, haruslah diterapkan suatu kinerja yang maksimal dengan mengoptimalkan sumber daya yang sudah tersedia. Penempatan humas di dalam suatu struktur organisasi, pasti akan sangat berpengaruh pada pelayanan yang bisa diberikan pada khalayak. Untuk itu, sudah sewajarnya apabila humas diberikan peran dan tempat tersendiri yang sifatnya mandiri. Hal ini dimaksudkan agar humas dapat langsung mengakses kepada semua unsur unit utama baik yang ada di pusat maupun kantor dinas pendidikan yang ada di daerah, sehingga diharapkan dimasa yang akan datang kinerja humas akan makin baik dari hari kehari, serta terus menerus akan mengalami berkurangnya hambatan hirarkis sebagaimana dan yang selama ini terjadi.
Sesuai struktur organisasi di Kantor Walikota Lhokseumawe, sebagaimana yang selama ini terus dilakukan, tetap dituntut dan selalu berupaya untuk dapat terus menerus melakukan berbagai kegiatan yang mengacu kepada kepuasan public penggunan (end-user) nya, baik untuk publik internal Kantor Walikota Lhokseumawe, maupun publik eksternal (media dan masyarakat umum), serta dalam upaya menjalin hubungan baik dengan sesama instansi pemerintah yang lain.
Berbagai kegiatan telah coba dimunculkan oleh bagian humas, yang antara lain adalah kegiatan untuk menyiapkan bahan informasi bagi semua publik yang dilayaninya, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang sifatnya memberikan bahan penerangan dan publikasi kepada masyarakat tentang kebijakan dan pelaksanaan kegiatan departemen. Sedangkan beberapa layanan yang diberikan, sebagaimana penulis lihat sejauh ini, diantaranya adalah layanan konferensi pers, pers release, dan kliping media. Kegiatan layanan konferensi pers, misalnya, hanya dilakukan apabila ada informasi dari pemerintah daerah yang perlu disampaikan kepada publik, sehingga frekuensi dan jumlah kegiatan konferensi pers, tidak dilakukan secara rutin, dan tidak bisa ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan press release merupakan kegiatan rutin dilakukan dengan media massa, baik media cetak atau media elektronik, yang berisi tentang berbagai informasi yang terjadi di Pemerintah Kota Lhokseumawe, yang dianggap perlu untuk diketahui oleh publik. Selain itu, ada juga kegiatan pengklipingan media yang disampaikan namun hanya untuk konsumsi dan kepentingan publik internal departemen saja.
Khusus yang berkaitan dengan masalah sumber daya manusia (SDM), yang lazim diikuti karena penyesuaian struktur organisasi, ternyata berpengaruh pula pada ketersediaan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang selanjutnya berkaitan dengan kompetensi, kapabilitas dan profesionalisme pegawai/staf humas, yang pada akhirnya sangat berpengaruh dan mempengaruhi dalam upaya untuk pencapaian citra positif Kantor Walikota Lhokseumawe terhadap publiknya. Humas yang biasanya lebih populer disebut dengan public relations tidak lain merupakan suatu upaya yang terencana dan berkesinambungan untuk menciptakan dan menjaga hubungan baik dan saling pengertian antara organisasi dan publik atau khalayak.
Kegiatan public relations pada hakekatnya adalah kegiatan komunikasi. Ciri hakiki dari komunikasi dalam public relations adalah komunikasi yang bersifat timbal balik atau dua arah. Hal ini sangat penting dan mutlak harus ada dan dilakukan dalam kegiatan public relations, agar ada dan terciptanya feedback atau umpan balik dan masukan, yang merupakan prinsip pokok dalam kegiatan public relations (Rahmadi, 1992:67)
Tugas public relations adalah memberikan informasi tentang keadaan suatu lembaga atau organisasi tersebut kepada publiknya secara jujur, sehingga dapat membentuk saling pengertian atau pemahaman publik tentang lembaga di mana humas itu berada. Disinilah letak peran pentingnya humas, yakni dalam upaya pembentukan serta peningkatan citra suatu lembaga atau organisasi. Komunikasi interaktif, penerimaan umpan balik dan masukan, pembentukan atau peningkatan citra di hadapan publik merupakan alasan utama mengapa humas sangat diperlukan oleh setiap lembaga atau instansi pemerintah, khususnya Kantor Walikota Lhokseumawe. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengangkat permasalahan program-program layanan Humas Kantor Walikota Lhokseumawe, sebagai sebuah kajian bagi rekomendasi strategi kehumasan di Kantor Walikota Lhokseumawe.
1.2. Perumusan Masalah
Public relations secara konsepsional dalam pengertian "state of being" di Indonesia sendiri baru dikenal pada awal tahun 1950-an, sedangkan pengembangan secara akademis baru dimulai sejak dekade 1960-an. Dalam pengertian state of being, seperti yang dimaksud di atas, public relations di Indonesia menggunakan istilah hubungan masyarakat atau disingkat dengan humas, adalah sebagai terjemahan dari public relations. Sehingga di beberapa instansi pemerintahan kita, banyak dan dapat dijumpai nama-nama atau istilah seperti Direktorat Hubungan Masyarakat atau Biro Hubungan Masyarakat atau Bagian Hubungan Masyarakat. Keberadaan Humas pada instansi besar seperti departemen, kota atau kabupaten, masih banyak hanyalah dilatarbelakangi oleh kepentingan dari para pimpinan organisasi dimaksud, dalam hal ini menteri, walikota/bupati dan seterusnya
Mengingat para pimpinan tersebut mempunyai lingkup tugas yang sangat berat dalam membawa roda organisasi departemen atau instansi yang dipimpinnya, maka mereka sangat berkeinginan agar instansi atau organisasi yang dipimpinnya menjadi suatu organisasi atau departemen yang mempunyai konotasi atau nama baik yang melekat sesuai dengan harapan mereka selaku para pimpinan yang menjadi komandan dari suatu instansi atau organisasi dimaksud. Namun demikian, karena ruang lingkupnya yang masih sangat luas, adanya keterbatasan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang pokok lainnya, menyebabkan para pimpinan tersebut tidak mungkin dapat menangani kegiatan rutin hubungan masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa mereka tetap menganggap bahwa keberadaan Humas di dalam struktur organisasinya, tidak lain, hanyalah sebagai corong atau jalur media komunikasi dari para pimpinan suatu lembaga, instansi atau departemen kepada publiknya.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat, maka beberapa instansi pemerintah mulai memandang dan menerapkan bahwa peran dan fungsi humas tidak hanya sebagai sekedar corong atau jalur media komunikasi para pimpinan lembaga, instansi atau pemerintah saja. Humas sekarang ini mulai diberikan porsi untuk mempunyai peran dan fungsi sebagai bagian yang dapat melakukan kegiatan-kegiatan baik yang ditujukan ke dalam (internal public relations) dan ataupun kegiatan-kegiatan yang ditujukan ke luar (external public relations).
Humas mulai diberikan tempat khusus untuk dapat memberikan masukan atau saran-saran yang diperlukan oleh pimpinan dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Selanjutnya, kegiatan-kegiatan humas sangat diharapkan untuk dapat menjadi indera penglihatan dan pendengaran atau sebagai mata dan telinga bagi organisasi atau instansi yang bersangkutan. Oleh karenanya, humas kemudian berkembang ruang lingkup tugasnya, yang antara lain meliputi:
1.      Membina hubungan ke dalam (public internal), yaitu publik yang menjadi bagian dari unit/badan/organisasi itu sendiri, sehingga diharapkan mampu untuk mengidentifikasi atau mengenal hal-hal yang menimbulkan gambaran negatif di dalam organisasinya sendiri atau masyarakat internalnya, sebelum kebijaksanaan itu dijalankan oleh organisasi;
2.      Membina hubungan ke luar (public external), yaitu publik umum (masyarakat) mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran yang positif publik terhadap lembaga yang diwakilinya.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
1.   Bagaimana program layanan kehumasan Kantor Walikota Lhokseumawe?
2.   Bagaimana strategi kehumasan Kantor Walikota Lhokseumawe?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah pokok di atas, tujuan utama kajian ini adalah:
1.  Untuk mengetahui dan menganalisis program layanan kehumasan Kantor Walikota Lhokseumawe (strategi kehumasan Kantor Walikota Lhokseumawe).
2. Untuk memberikan masukan/rekomendasi guna menyusun strategi kehumasan Kantor Walikota Lhokseumawe

Rabu, 15 Juni 2011

Pengaruh Struktur Modal, Biaya Ekuitas (Cost Of Equity) Dan Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Klasifikasi Perusahaan Dan Kepemilikan Asing Sebagai Variabel Moderating Pada Perusahaan Lembaga Keuangan Yang Terdaftar Di BEI

Oleh :
Budi Anshari Nasution

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Krisis keuangan saat ini berdampak pada aktivitas pasar modal global.  Perkembangan indeks bursa saham di beberapa bursa dunia yang sebelumnya  menunjukkan kinerja yang  outperform terkoreksi turun sampai dengan level yang tidak diperkirakan. Jika dibandingkan dengan awal tahun 2008, Indeks bursa Shanghai telah turun sebesar 64 persen, Kuala Lumpur Composite Index sebesar 34 persen. Begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia per tanggal 16 September 2008 menyentuh level terendah 1.719,25 terkoreksi 39,3 persen dihitung dari level IHSG tertinggi 9 Januari 2008 di level 2.830,26. Kerugian langsung mungkin hanya dialami sebagian kecil investor yang memiliki eksposure atas aset-aset yang terkait langsung dengan lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat yang bermasalah.
Dengan kondisi fundamental Indonesia saat ini, sebenarnya tidak ada alasan bagi investor untuk melakukan rasionalisasi portofolionya. Melemahnya IHSG akibat sentimen global krisis keuangan Amerika Serikat sebenarnya memberikan hikmah positif karena tanpa kita sadari kinerja IHSG selama ini relatif overvalued. Turunnya IHSG ke level saat ini lebih mewakili kondisi fundamental yang sebenarnya (pricedin).Level IHSG saat ini belum dipastikan merupakan level equilibrium baru, tetapi dengan kondisi fundamental yang perform akan menahan aksi spekulasi yang mendorong IHSG terkoreksi lebih dalam.
Dengan tingkat likuiditas global saat ini relatif masih sangat tinggi, diperkirakan tujuan investasi para investor akan ditujukan ke berbagai bursa-bursa emerging market yang dapat memberikan potensi tingkat pengembalian/imbal hasil (expected return) yang menarik bagi investor, tak terkecuali Indonesia. Inilah sebenarnya berkah terselubung krisis keuangan Amerika Serikat untuk pasar modal Indonesia
Keputusan pendanaan berkaitan dengan pemilihan sumber dana baik yang berasal dari dalam maupun dari luar perusahaan sangat mempengaruhi nilai perusahaan. Sumber dana perusahaan dari internal berasal dari laba ditahan dan depresiasi. Sumber dana eksternal perusahaan berasal dari kreditur pemenuhan kebutuhan dana yang berasal dari para kreditur merupakan hutang bagi perusahaan.
Dana yang diperoleh dari para pemilik perusahaan merupakan modal sendiri. Tujuan perusahaan dalam jangka panjang adalah mengoptimalkan nilai perusahaan dengan meminimumkan biaya ekuitas perusahaan. Semakin tinggi nilai perusahaan menggambarkan semakin sejahtera pemilik perusahaan. Penggunaan kebijakan hutang bisa digunakan untuk menciptakan nilai perusahaan yang diinginkan, namun kebijakan hutang juga tergantung dari pertumbuhan perusahaan yang juga terkait dengan ukuran perusahaan, artinya perusahaan yang besar dan memiliki tingkat pertumbuhan perusahaan yang baik relatif lebih mudah untuk mengakses ke pasar modal. Kemudahan ini mengindikasikan bahwa perusahaan besar relatif mudah memenuhi sumber dana dari hutang melalui pasar modal, perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan perusahaan yang baik menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar bunga hutang jika menggunakan hutang untuk menjalankan operasional perusahaan tersebut. 
Weston dan Brigham (1985: 187) mengartikan bahwa struktur keuangan (financial leverage) merupakan cara asset perusahaan dibelanjai/dibiayai; hal ini seluruhnya merupakan bagian kanan neraca, sedangkan struktur modal (capital structure) merupakan pembiayaan permanen perusahaan, terutama hutang jangka panjang, saham preferen/prioritas dan modal saham biasa, tetapi tidak semua dikelompokan kedalam kredit jangka pendek. Dengan demikian struktur modal dalam suatu perusahaan dapat diukur dengan menghitung rasio total utang terhadap total ekuitasnya (debt to equity ratio).
Prinsip manajemen perusahaan menuntut agar baik dalam memperoleh maupun menggunakan dana harus didasarkan pada efisiensi dan efektivitas. Efisiensi penggunaan dana berarti bahwa berapa pun dana yang ditanamkan dalam asset harus dapat digunakan seefisiensi mungkin untuk menghasilkan tingkat keuntungan investasi yang maksimal. Fungsi penggunaan dana meliputi perencanaan dan pengendalian penggunaan asset dalam asset lancar maupun asset tetap, agar dana yang tertanam dalam masing-masing unsur asset tersebut disatu pihak tidak terlalu  kecil jumlahnya, sehingga tidak dapat mengganggu likuiditas dan kelanjutan usaha, dan di lain pihak tidak terlalu besar jumlahnya sehingga menimbulkan pengangguran dana. Oleh karena itu, pengalokasian dana harus didasarkan pada perencanaan yang tepat, sehingga dana menganggur menjadi kecil. Efesiensi penggunaan dana secara langsung dan tidak langsung akan menentukan besar kecilnya tingkat keuntungan yang dihasilkan dari investasi.
Manajer keuangan harus bijaksana dalam menjalankan fungsi penggunaan dana dan selalu dituntut untuk mencari alternatif investasi kemudian dianalisis dan hasil analisis tersebut harus dapat diambil keputusan alternatif investasi mana yang akan dipilih. Dengan kata lain, manajer keuangan harus mengambil keputusan investasi. Menurut  trade off theory manajer dapat memilih rasio utang untuk memaksimalkan nilai perusahaan (Fama, 1978: 12). Fama (1978: 12) berpendapat bahwa nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar saham. Jensen (2001: 156) menjelaskan bahwa untuk memaksimalkan nilai perusahaan tidak hanya dengan nilai ekuitas saja yang harus diperhatikan, tetapi juga semua sumber keuangan seperti hutang, warran, maupun saham preferen.
Fama dan French (1998: 101) berpendapat bahwa optimalisasi nilai perusahaan  merupakan tujuan perusahaan dapat dicapai melalui fungsi manajemen keuangan dan satu keputusan keuangan diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan berdampak pada nilai perusahaan. Nilai pasar perusahaan merupakan nilai pasar dari suatu ekuitas perusahaan ditambah nilai pasar hutang (elfert, 1997: 335). Dengan demikian, penambahan dari jumlah ekuitas perusahaan dengan hutang perusahaan dapat mencerminkan nilai perusahaan.
Berdasarkan penelitian terdahulu, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan, diantaranya: keputusan pendanaan, kebijakan deviden, keputusan investasi, struktur modal, biaya ekuitas (cost of equity), pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan. Beberapa faktor tersebut memiliki hubungan dan pengaruh terhadap nilai perusahaan yang tidak konsisten. Nilai perusahaan adalah nilai laba masa yang akan datang yang diekspektasi yang dihitung kembali dengan suku bunga yang tepat (Winardi, 2001: 23). 
Teori struktur modal menjelaskan pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan dapat diartikan sebagai ekspektasi nilai investasi pemegang saham (harga pasar ekuitas) dan/atau ekspektasi nilai total perusahaan (harga pasar ekuitas ditambah dengan nilai pasar hutang, atau ekspektasi harga pasar  aktiva) (Sugihen, 2003: 28).
Pertumbuhan (Growth) adalah seberapa jauh perusahaan menempatkan diri dalam sistem ekonomi secara keseluruhan atau sistem ekonomi untuk industri yang sama (Machfoedz, 1996: 108). Pada umumnya, perusahaan yang tumbuh dengan cepat memperoleh hasil positif dalam artian pemantapan posisi di peta persaingan, menikmati penjualan yang meningkat secara signifikan dan diiringi oleh adanya peningkatan pangsa pasar. Perusahaan yang tumbuh cepat juga menikmati keuntungan dari citra positif yang diperoleh, akan tetapi perusahaan harus ekstra hatihati, karena kesuksesan yang diperoleh menyebabkan perusahaan menjadi rentan terhadap adanya isu negatif. Pertumbuhan cepat juga memaksa sumber daya manusia yang dimiliki untuk secara optimal memberikan kontribusinya. Agar pertumbuhan cepat tidak memiliki arti pertumbuhan biaya yang kurang terkendali, maka dalam mengelola pertumbuhan, perusahaan harus memiliki pengendalian operasi dengan penekanan pada pengendalian biaya (Susanto, 1997: 185-187).
Penelitian tentang struktur modal yang mempengaruhi nilai perusahaan telah banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa peneliti tersebut adalah Sugihen (2003: 26-32) menemukan bukti bahwa struktur modal berpengaruh tidak langsung negative terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan pada fakta empiris dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pada masa krisis, para pelaku pasar memahami bahwa peningkatan hutang disebabkan oleh faktor eksternal (kurs valuta asing dan suku bunga) yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan. Para pelaku pasar yakin bahwa apabila pengaruh eksternal ini kembali normal, maka perusahaan akan kembali membaik, dan nilai pasar ekuitas ditentukan oleh permintaan dan penawaran.
Wahyudi dan Hartini (2004: 27) yang membuktikan bahwa Keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan, tetapi keputusan investasi dan kebijakan deviden tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasnawati (2005: 15) membuktikan bahwa Kebijakan deviden secara langsung mempengaruhi nilai perusahaan dan secara tidak langsung keputusan investasi mempengaruhi nilai perusahaan melalui kebijakan deviden dan keputusan pendanaan
Solihah dan Taswan (2002: 75) menemukan bukti bahwa kebijakan hutang berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Modigliani and Miller pada tahun 1963 bahwa dengan memasukkan pajak penghasilan perusahaan, maka penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Sriwardany (2006: 78) menemukan bukti bahwa struktur modal mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan harga saham, yang memberi arti bahwa jika kebijaksanaan struktur modal perusahaan lebih banyak menggunakan hutang maka akan terjadi penurunan harga saham, sedangkan pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh yang langsung terhadap harga saham.
Modigliani-Miller (1976)  dalam (Sartono, 2001: 242) melalui model adanya pajak penghasilan terdapat adanya pengaruh leverage terhadap nilai perusahaan jika terdapat pajak perusahaan dan pajak perseorangan. Dalam pendekatan Modigliani-Miller kondisi adanya pajak penghasilan perusahaan benar, maka nilai perusahaan akan meningkat terus karena penggunaan hutang yang semakin besar. Tetapi harus diketahui bahwa nilai sekarang  financial distress dan nilai sekarang  agency costs dapat mengakibatkan turunnya nilai perusahaan yang memiliki  leverage. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, struktur modal yang optimal dapat dicapai dengan menyeimbangkan keuntungan perlindungan pajak dengan beban biaya sebagai akibat penurunan hutang yang semakin besar.
Berger dan Patti (2003)  dalam Arifin (2005: 27), yang meneliti hubungan struktur modal dengan kinerja perusahaan pada industri perbankan, mengelompokkan bank berdasarkan struktur kepemilikan saham. Kepemilikan saham dikelompokkan menjadi tiga yaitu Bank yang dikendalikan oleh dewan pengurus, pemegang saham outsider di atas 5%, dan pemegang saham institusi. Hasil uji menyimpulkan bahwa pemegang saham institusi mempunyai efek pemantauan (monitoring) yang baik yang dapat mengurangi biaya keagenan. Hasil penelitiannya juga konsisten dan berhubungan antara kinerja dengan kepemilikan insider. Ang, Cole, dan Lin (2000) dalam Arifin (2005: 28) menemukan bukti bahwa peningkatan monitoring oleh bank, akibat meningkatnya jumlah hutang, menyebabkan kinerja perusahaan meningkat pula. Hatfield, Cheng, dan Davidson (1994)  dalam Arifin (2005: 29) menguji pengaruh struktur modal berdasarkan klasifikasi industri terhadap nilai perusahaan.
Klasifikasi industri didasarkan pada  value line industrial classification, yaitu perusahaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok perusahaan yang struktur modal perusahaannya (leverage ratio) di atas dan di bawah dari rata-rata leverage ratio industri (rata-rata leverage ratio seluruh sampel). Inkonsistensi hasil penelitian tentang struktur modal, biaya ekuitas dan pertumbuhan perusahaan terhadap nilai perusahaan diduga dipengaruhi juga oleh variabel klasifikasi perusahaan. Perbedaan karakteristik klasifikasi perusahaan akan membuat indikasi berbeda kepada para investor. Pada perusahaan lembaga keuangan terdapat perbedaan karakteristik antara klasifikasi bank dan klasifikasi non bank Perbedaan klasifikasi ini akan mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan ketika mendapatkan informasi keuangan khususnya dalam menganalisis posisi kewajiban (debt) perusahaan lembaga keuangan. 
Berdasarkan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per tanggal 31 Juli 2008 kepemilikan saham investor Asing di Bursa Efek Indonesia sebesar 64 persen, sisanya 36 persen adalah kepemilikan saham oleh investor lokal. Peran investor asing ini di satu sisi membawa dampak positif meningkatkan likuiditas berupa aliran modal masuk (capital inflow), tetapi di sisi lain merupakan ancaman instabilitas pasar ketika investor asing ini keluar dan menarik modalnya (capital outflow) secara masif dan tiba-tiba. Dengan demikian di duga bahwa investor asing mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Oleh karena itu, mengkaitkan struktur modal, biaya ekuitas (cost of equity) dan pertumbuhan perusahaan dengan klasifikasi perusahaan dan kepemilikan asing sebagai variabel moderating terhadap nilai perusahaan menjadi relevan.
Dhankar dan Boora (1996: 33-35) menemukan adanya hubungan negative antara struktur modal dengan biaya ekuitas, penemuan ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa penurunan biaya ekuitas disebabkan oleh kenaikan rasio utang dikarenakan biaya utang masih lebih kecil. Dalam penelitiannya mereka juga menemukan tidak ada hubungan dan pengaruh yang signifikan struktur modal terhadap nilai perusahaan secara khusus. Hal ini disebabkan nilai perusahaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya risiko reputasi, kondisi ekonomi regional, kondisi politik dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti termotivasi untuk mereplikasi penelitian terdahulu tentang pengaruh struktur modal, biaya ekuitas (cost of equity) dan pertumbuhan perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan menggunakan klasifikasi perusahaan dan kepemilikan asing sebagai variabel moderating. Perbedaan penelitian ini dengan peneltian sebelumnya adalah di model penelitian, variabel penelitian, populasi penelitian dan tahun penelitian.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Dari latar belakang di atas, peneliti mencoba meneliti dengan masalah sebagai berikut:
1.  Apakah struktur modal, biaya ekuitas (cost of equity) dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan secara parsial maupun simultan?
2. Apakah terdapat interaksi variabel klasifikasi perusahaan dengan struktur modal, biaya ekuitas dan pertumbuhan perusahaan dalam mempengaruhi nilai perusahaan secara parsial maupun simultan?
3. Apakah terdapat interaksi variabel kepemilikan asing dengan struktur modal, biaya ekuitas dan pertumbuhan perusahaan dalam mempengaruhi nilai perusahaan secara parsial maupun simultan?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.   Untuk menguji dan menganalisis pengaruh struktur modal, biaya ekuitas (cost of equity) dan pertumbuhan perusahaan terhadap nilai perusahaan secara parsial dan simultan.
2.  Untuk menguji dan menganalisis interaksi variabel klasifikasi perusahaan sebagai variabel moderating dengan struktur modal, biaya ekuitas dan pertumbuhan perusahaan dalam mempengaruhi nilai perusahaan (variabel dependen) secara parsial maupun simultan.
3.   Untuk menguji dan menganalisis interaksi variabel kepemilikan asing sebagai variabel moderating dengan struktur modal, biaya ekuitas dan pertumbuhan perusahaan dalam mempengaruhi nilai perusahaan secara parsial maupun simultan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Bagi peneliti diharapkan penelitian ini merupakan pelatihan intelektual yang diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai pengaruh struktur modal, biaya ekuitas dan pertumbuhan perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan variabel moderating klasifikasi perusahaan dan kepemilikan asing.
2.  Bagi peneliti selanjutnya dan akademisi penelitian ini diharapkan akan melengkapi temuan-temuan empiris yang telah ada di bidang akuntansi untuk kemajuan dan pengembangan penelitian ilmiah di masa yang akan datang.
3.  Bagi manajemen, penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi terutama manajer keuangan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan dalam penentuan struktur modal dan pertumbuhan perusahaan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. 
4. Bagi investor, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan investasi pada perusahaan lembaga keuangan di Bursa Efek Indonesia.
1.5. Originalitas Penelitian 
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Raj S Dhankar dan A jit Boora (1996) dengan judul Cost of Capital, Optimal Capital Structure and Value of Firm Empirical Study of Indian Companies. Periode penelitian tahun 1981-1982 dan 1990-1991 pada perusahaan yang tidak sejenis di Bombay Stock Exchange dengan 26 sampel. Variabel dependen dalam penelitiannya adalah nilai perusahaan yang diukur dengan harga pasar perlembar saham terhadap nilai buku ekuitas perlembar saham, sedangkan variabel independen dalam penelitiannya adalah struktur modal yang diukur dengan Debt Equity Ratio dan cost of capital  dengan menggunakan WACC. Untuk biaya ekuitas (cost of equity) yang diukur dengan menggunakan CAPM (Capital Asset Pricing Model). 
Dhankar dan Boora (1996: 33-35) menggunakan analisis jalur (path analysis) dengan biaya ekuitas (cost of equity) sebagai variabel intervening. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan negatif antara struktur modal dengan biaya ekuitas, penemuan ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa penurunan biaya ekuitas disebabkan oleh kenaikan rasio utang dikarenakan biaya utang masih lebih kecil.Dalam penelitiannya mereka juga menemukan tidak ada hubungan dan pengaruh yang signifikan struktur modal terhadap nilai perusahaan. Hal ini disebabkan nilai perusahaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya risiko reputasi, kondisi ekonomi regional, kondisi politik dan kebijakan pemerintah.
Perbedaan penelitian ini dengan peneltian sebelumnya adalah di model penelitian, variabel penelitian, populasi penelitian dan tahun penelitian. Penelitian ini mengambil sampel perusahaan lembaga keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dengan pertimbangan bahwa selama tahun tersebut pasar keuangan di Indonesia masih dalam kondisi turbulance menyusul krisis keuangan global dalam dua tahun terakhir. Fenomena ini menarik untuk dibahas mengingat pemilik kepentingan (stakeholder) perusahaan keuangan pada umumnya bukan hanya pemilik perusahaan tetapi juga masyarakat luas. Peneliti menggunakan variabel dependen nilai perusahaan yang diukur dengan market to book ratio sedangkan variabel independen struktur modal yang diukur dengan  debt to equity ratio dan biaya ekuitas yang diukur dengan CAPM (Capital Asset Pricing Model) dan menambah variabel independen yang lain yang telah diteliti oleh peneliti terdahulu yaitu pertumbuhan perusahaan yang diukur dengan perubahan total asset saat ini dari total asset tahun sebelumnya terhadap total asset tahun sebelumnya. Dengan argumentasi bahwa umumnya jika kebijakan meningkatkan struktur modal dilakukan oleh perusahaan maka akan meningkatkan biaya ekuitas serta meningkatnya ekspektasi pasar terhadap harga saham perusahaan tersebut dengan pertimbangan risiko dan return yang proporsional dan untuk perusahaan yang berskala besar diprediksi memiliki pertumbuhan perusahaan yang baik.
Untuk menelaah lebih lanjut dalam terhadap hubungan tersebut dan adanya fenomena bahwa investor asing sangat dominan dalam pasar modal Indonesia khususnya pada perusahaan lembaga keuangan maka peneliti tertarik untuk menguji pengaruh variabel kepemilikan asing sebagai variabel moderating terhadap hubungan struktur modal, biaya ekuitas, pertumbuhan perusahaan dan nilai perusahaan. Ada perbedaan yang dominan antara lembaga keuangan bank dan bukan bank dalam struktur modal perusahaan khususnya dalam kelompok hutang yaitu bagi bank naiknya dana pihak ketiga akan meningkatkan posisi hutang bank. Kenaikan hutang yang di imbangi dengan naiknya asset perusahaan perbankan akan direspon positif oleh investor karena bank adalah lembaga intermediary yang berfungsi menghimpun dana dan menyalurkannya kembali ke masyarakat. Pada lembaga keuangan bukan bank naiknya hutang belum tentu direspon positif sekalipun diimbangi dengan meningkatnya asset. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti termotivasi untuk mereplikasi penelitian tentang pengaruh struktur modal, biaya ekuitas (cost of equity) dan pertumbuhan perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan menggunakan klasifikasi perusahaan dan kepemilikan asing sebagai variabel moderating pada perusahaan lembaga keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.